UPAYA PENANGANAN LIMBAH NUKLIR

Secara umum, pengelolaan limbah nuklir yang lazim digunakan oleh negara-negara maju meliputi tiga pendekatan pokok yang bergantung pada besar kecilnya volume limbah, tinggi rendahnya aktivitas zat radioaktif yang terkandung dalam limbah serta sifat-sifat fisika dan kimia limbah tersebut. Tiga pendekatan pokok itu meliputi:

  1. Limbah nuklir dipekatkan dan dipadatkan yang pelaksanaannya dilakukan dalam wadah khusus untuk selanjutnya disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama. Cara ini efektif untuk menangani limbah nuklir cair yang mengandung zat radioaktif beraktivitas sedang dan atau tinggi
  2. Limbah nuklir disimpan dan dibiarkan meluruh dalam tempat penyimpanan khusus sampai aktivitasnya sama dengan aktivitas zat radioaktif lingkungan. Cara ini efektif bila dipakai untuk pengelolaan limbah nuklir cair atau padat yang beraktivitas rendah dan berwaktu paruh pendek.
  3. Limbah nuklir diencerkan dan didispersikan ke lingkungan. Cara ini efektif dalam pengelolaan limbah nuklir cair dan gas beraktivitas rendah (Sofyan, 1998)

Pada PLTN sebagian besar limbah yang dihasilkan adalah limbah aktivitas rendah (70 – 80%). Sedangkan limbah aktivitas tinggi dihasilkan pada proses daur ulang elemen bakar nuklir bekas, sehingga apabila elemen bakar bekasnya tidak didaur ulang, limbah aktivitas tinggi ini jumlahnya sangat sedikit. Penangan limbah radioaktif aktivitas rendah, sedang maupun aktivitas tinggi pada umumnya mengikuti tiga prinsip, yaitu :

  • Memperkecil volumenya dengan cara evaporasi, insenerasi, kompaksi/ditekan.
  • Mengolah menjadi bentuk stabil (baik fisik maupun kimia) untuk memudahkan dalam transportasi dan penyimpanan.
  • Menyimpan limbah yang telah diolah, di tempat yang terisolasi Continue reading

POTENSI LIMBAH NUKLIR

Beberapa negara di eropa dan amerika menempatkan limbah radioaktif ke dalam golongan limbah berbahaya, sedangkan di Indonesia pengelolaan limbah radioaktif secara khusus ditangani oleh Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) seperti yang tertuang dalam PP No.18 Tahun 1999 jo PP No.85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

Limbah nuklir merupakan hasil samping dari kegiatan manusia dalam pemanfaatan teknologi nuklir. Secara ilmiah, istilah limbah nuklir dikaitkan dengan segenap bahan yang tidak dapat digunakan lagi (di daur ulang) yang karena tingkat radioaktivitasnya bahan tersebut tidak mungkin di lepas atau di buang langsung ke lingkungan. Dalam limbah nuklir ini terdapat unsur-unsur radioaktif yang mampu memancarkan radiasi dan apabila dibuang ke lingkungan dapat menyebabkan kerusakan pada kesehatan manusia (Sofyan, 1998)

Limbah radioaktif diklasifikasikan menjadi tiga berdasarkan PP RI No. 27 Tahun 2002, yaitu:

  • Limbah Radioaktif Tingkat Rendah merupakan limbah radioaktif dengan aktivitas di atas tingkat aman (clearance level) tetapi dibawah tingkat sedang, yang tidak memerlukan penahan radiasi selama penanganan dalam keadaan normal dan pengangkutan
  • Limbah Radioaktif Tingkat Sedang merupakan limbah radioaktif dengan aktivitas di atas tingkat rendah tetapi dibawah tingkat tinggi yang tidak memerlukan pendingin dan memerlukan penahan radiasi selama penanganan dalam keadaan normal dan pengangkutan
  • Limbah Radioaktif Tingkat Tinggi merupakan limbah radioaktif dengan aktivitas di atas tingkat sedang yang memerlukan pendingin dan penahan radiasi dalam penanganan pada keadaan normal dan pengangkutan, termasuk bahan bakar nuklir bekas.

Terdapat beberapa sumber dari proses kerja PLTN yang berpotensi memberikan dampak sebagai akibat dari limbah radiasi yang dihasilkan antara lain pengoperasian reaktor nuklir, struktur teras reaktor, korosi bahan struktur dari teras reaktor, zat radioaktif hasil fisi dan hasil aktivasi serta kebocoran yang menyebabkan terlarutnya unsur hasil fisi dan aktivasi. Selain sumber yang berupa teknis, terdapat juga sumber dampak dari tahapan pra-operasi seperti penambangan uranium, pengolahan bijih uranium, fabrikasi elemen bahan bakar, serta berbagai aktivitas dalam penelitian dan pengembangan bahan bakar nuklir (Sofyan, 1998).

  1. Pengoperasian reaktor nuklir pada PLTN dapat mengeluarkan unsur-unsur radioaktif melalui proses fisi maupun aktivasi. Unsur-unsur tersebut dapat berada dalam bentuk padat, cair maupun gas
  2. Ada berbagai macam bahan struktur yang digunakan dalam teras reaktor, antara lain adalah kelongsong bahan bakar. Bahan kelongsong ini dapat mengalami proses aktivasi oleh neutron hasil fisi didalam teras sehingga bahan yang semula tidak  radioaktif berubah sifatnya menjadi radioaktif sehingga mampu memancarkan radiasi
  3. Korosi bahan struktur yang teraktivasi akan terlarut dalam air pendingin primer. Beberapa bahan struktur yang digunakan dalam teras reaktor seringkali di buat dari baja tahan karat, zircaloy, inconel, carbon steel, tembaga alloy dan lain-lain bergantung pada jenis reaktor. Aktivasi neutron terhadap bahan-bahan tersebut dapat menghasilkan zat radioaktif seperti 54Mn, 56Mn, 58Co, 60Co, dan 59Fe. Aktivasi neutron dapat juga terjadi pada gas-gas yang terlarut dalam air pendingin primer
  4. Beberapa zat radioaktif hasil fisi serta unsur-unsur hasil aktivasi memiliki umur paro yang panjang sehingga perlu juga mendapat perhatian dalam penanganan.
  5. Kebocoran kelongsong bahan bakar dan proses korosi bahan struktur dapat mengakibatkan terlarutnya unsur-unsur hasil fisi dan aktivasi kedalam air pendingin primer. Namun air ini tetap tersimpan rapat dalam tangki reaktor dan tidak akan terjadi kontak langsung dengan air pendingin sekunder. Oleh sebab itu, terlepasnya zat radioaktif ke dalam air pendingin primer tidak akan menyebabkan keluarnya zat radioaktif dari tangki reaktor

Akan tetapi bisa juga dikatakan bahwa pengoperasian PLTN hampir tidak memberikan cemaran zat radioaktif ke lingkungan. Hal ini dikarenakan air laut atau sungai yang dipergunakan untuk membawa panas dari kondensor sama sekali tidak mengandung zat radioaktif, karena tidak bercampur dengan air pendingin yang bersirkulasi dalam reaktor. Gas radioaktif yang dapat keluar dari sistem reaktor tetap terkukung dalam sistem pengukung PLTN dan sudah melalui sistem ventilasi dengan sistem berlapis-lapis. Gas yang dilepas melalui cerobong aktivitasnya sangat kecil (sekitar 2 millicurie/tahun), sehingga tidak menimbulkan dampak terhadap lingkungan (B,xxxx).

Selama pengoperasian normal, reaktor pembangkit tenaga nuklir mengeluarkan limbah radioaktif dengan level rendah ke dalam lingkungan sebagai buangan (effluen) cair dan gas. Limbah tersebut mengalami peningkatan dikarenakan selama operasional reaktor, terbentuk hasil belahan dan produk hasil aktivasi pada struktur dan material cladding. Pendingin terkontaminasi sebagai hasil difusi produk belahan dari bahan bakar dikarenakan tidak efektifnya cladding and partikel hasil korosi juga teraktivasi pada saat dilepas melewati bagian inti dari reaktor nuklir. Proses ini memerlukan penggantian pendingin untuk mengatasi kontaminasi akibat peningkatan radioaktif (Cooper, 2003)

Referensi :

Cooper. J.R., (2003), Radioactive Release in The Environment: Impact and Assessment, John Wiley and Sons, Ltd

B, (xxxx), Pengenalan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), Pusat Diseminasi IPTEK Nuklir

Sofyan. H, (1998), Teknik Pengukungan Limbah Nuklir, Pusat Standarisasi dan Penelitian Keselamatan Radiasi, Badan Tenaga Atom Nasional, Buletin ALARA 2 (1)

PROSES KERJA REAKTOR NUKLIR

Reaktor nuklir tergantung pada reaksi yang terjadi antara neutron dengan inti atom dari bahan bakar. Uranium sebagai bahan bakar yang biasa digunakan untuk reaktor mengandung inti dengan isotop yaitu 238U dan 235U yang memiliki proporsi sebesar 99,3% dan 0,7%. Selama reaksi fisi, atom 235U terbagi menjadi isotop dari berbagai elemen disertai dengan lepasnya neutron berenergi tinggi, beberapa radiasi sinar gamma dan panas, yang nantinya dipakai oleh pendingin dan digunakan untuk menghasilkan listrik melalui kerja turbin uap. Beberapa produk reaksi fisi mengabsorbsi neutron secara efisien yang mendorong terjadinya rantai reaksi sehingga kebutuhan bahan bakar akan disubstitusikan sebelum habis terpakai. Bahan bakar nuklir bekas memiliki tingkat radioaktif tinggi dan memerlukan penanganan dengan pengukungan untuk melindungi manusia terhadap paparan yang berlebihan (Cooper, 2003).

Pada reaksi fisi, neutron diabsorbsi oleh inti 235U yang kemudian pecah menjadi dua fragmen disebut hasil belahan. Neutron, sejumlah 2-3, dilepaskan bersamaan 200 MeV energi per reaksi fisi. Neutron-neutron ini disebut neutron cepat yang mampu bergerak bebas tanpa dirintangi oleh atom-atom uranium. Agar mudah ditangkap oleh inti atom uranium guna menghasilkan reaksi pembelahan, kecepatan neutron ini harus diperlambat. Zat yang dapat memperlambat kecepatan neutron ini disebut moderator. Energi tersebut kemudian didistribusikan menjadi 170 MeV energi kinetik hasil belahan, 5 MeV energi kinetik neutron dan 25 MeV sebagai sinar gamma, partikel beta dan antineutrinos. Energi yang dilepaskan selama reaksi fisi 235U sekitar jutaan kali lebih besar dari massa yang sama pada pembakaran batu bara. Neutron yang dilepaskan pada reaksi fisi dapat memicu reaksi fisi berikutnya sehingga muncul rantai reaksi (Cooper, 2003).

Panas yang dihasilkan dari reaksi pembelahan, oleh air yang bertekanan 160 atmosfir dan suhu 300oC secara terus menerus dipompakan ke dalam reaktor melalui saluran pendingin reaktor. Air bersirkulasi dalam saluran pendingin ini tidak hanya berfungsi sebagai pendingin saja tetapi juga bertindak sebagai moderator, yaitu sebagai medium yang dapat memperlambat neutron (B,xxxx)

Referensi :

Cooper. J.R., (2003), Radioactive Release in The Environment: Impact and Assessment, John Wiley and Sons, Ltd

B, (xxxx), Pengenalan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), Pusat Diseminasi IPTEK Nuklir

GAMBARAN UMUM PLTN

Pengertian limbah radioaktif berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No.27 Tahun 2002 tentang pengelolaan limbah radioaktif adalah zat radioaktif dan atau bahan serta peralatan yang telah terkena zat radioaktif atau menjadi radioaktif karena pengoperasian alat instalasi nuklir atau instalasi yang memanfaatkan radiasi pengion yang tidak dapat digunakan lagi.

Pembangkit energi tenaga nuklir merupakan sumber energi alternatif yang penting dan memberikan kontribusi sebesar 17% dari kebutuhan listrik dunia. Proporsi listrik yang dihasilkan untuk beberapa negara seperti yang terlihat pada tabel 1 berikut (Cooper, 2003)

Tabel 1. Proporsi Total Listrik PLTN

Negara

Reaktor yang beroperasi

Proporsi total listrik (%)

Jumlah Unit

MW (e)

Canada

14

9998

11.8

France

59

63073

76.4

Germany

19

21122

30.6

Japan

53

43491

33.8

Rusia

29

19843

14.9

Republic of Korea

16

12990

40.7

Ukraine

13

11207

47.3

UK

35

12968

21.9

USA

104

97411

19.8

Lainnya

96

59224

Sumber : Cooper (2003)

Dalam pembangkit listrik konvensional (PLK), air diuapkan dalam suatu ketel melalui pembakaran bahan bakar fosil (minyak, batubara dan gas). Uap yang dihasilkan dialirkan ke turbin uap yang akan bergerak apabila ada tekanan uap. Perputaran turbin selanjutnya digunakan untuk menggerakkan generator, sehingga akan dihasilkan tenaga listrik. PLTN beroperasi dengan prinsip yang sama seperti PLK, hanya panas yang digunakan untuk menghasilkan uap tidak dihasilkan dari pembakaran bahan fosil, tetapi dihasilkan dari reaksi pembelahan inti bahan fisil (uranium) dalam suatu reaktor nuklir. Sebagai pemindah panas biasa digunakan air yang disirkulasikan secara terus menerus selama PLTN beroperasi (B,xxxx)

Jenis reaktor yang paling sering digunakan adalah Pressurized Water Reactor (PWR) yang menggunakan air ringan, dibawah tekanan untuk mencegah pemanasan yang berlebihan, membawa panas dari reaktor menuju perubah panas. Sirkuit sekunder dari air dipanaskan pada perubah panas untuk menghasilkan uap yang akan menggerakkan turbin dan menhasilkan listrik. Upa kemudian di kondensasi dan dikembalikan ke perubah panas. Air pendingin juga berfungsi sebagai moderator. Boiling water reactor (BWR) juga menggunakan air ringan sebagai pendingin dan moderator. Air pendingin juga dipanaskan sehingga uap yang dihasilkan menghasilkan energi untuk menggerakkan turbin dan mengahsilkan listrik. Uap yang didinginkan dan air dikembalikan ke dalam unit reaktor sebagai pendingin (Cooper, 2003)

Referensi :

Cooper. J.R., (2003), Radioactive Release in The Environment: Impact and Assessment, John Wiley and Sons, Ltd

B, (xxxx), Pengenalan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), Pusat Diseminasi IPTEK Nuklir

Kajian Emisi Kendaraan Bermotor

Abstrak :

Dari sekian banyak bentuk pencemaran yang ada, pencemaran udara akibat banyaknya kendaraan bermotor menempati urutan pertama diatas sumber pencemar lain seperti pembakaran stationer, proses industri, pembuangan limbah padat dan lainnya. Jumlah kendaraan bermotor yang semakin meningkat dari tahun ke tahun menimbulkan keprihatinan apabila tidak didukung dengan upaya pengontrolan emisi buangan dari kendaraan bermotor tersebut.

Banyaknya faktor yang mempengaruhi kadar emisi buang kendaraan roda empat, menyebabkan perlunya pengkajian yang mempelajari pengaruh berbagai faktor dari kendaraan terhadap kadar emisi buang. Dalam hal ini pengkajian lebih dispesifikkan pada faktor kendaraan kapasitas silinder dan umur mesin serta parameter pencemar Hidrokarbon. Continue reading

Polutan Pencemar Udara

Pencemaran udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya. Kehadiran bahan atau zat asing di dalam udara dalam jumlah tertentu serta berada di udara dalam jangka waktu yang lama menyebabkan kenyamanan hidup terganggu dengan kata lain udara normal telah tercemar (Riyadi, 1982).

Kualitas udara sangat ditentukan oleh jumlah dan kuantitas bahan atau zat pencemar di dalam udara yang kita kenal dengan baku mutu. Parameter yang sering terdapat dalam baku mutu udara baik ambien maupun emisi adalah pencemar konservatif yang umum keberadaannya di udara seperti CO, NOx, SOx, Pb, HC dan particulate. Selain itu terdapat pula parameter lain yang lebih spesifik berdasarkan aktivitas kegiatan yang dilakukan, seperti HCN pada industri elektroplating, CH4 pada landfill dan lain sebagainya. Nilai pada baku mutu ditetapkan berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain :

  1. resiko kesehatan pada manusia
  2. karakteriktik dari polutan (mudah terbakar, mudah meledak, beracun, infeksi, reaktif etc)
  3. dampak terhadap material (ozon terhadap tanaman, hujan asam terhadap kerusakan infrastruktur)

Tetapi terdapat pula polutan yang tidak ditolerir keberadaannya dalam suatu lingkungan. Hal tersebut dipengaruhi oleh :

1. kondisi / peruntukan

pada bagian ini lebih dibedakan antara jenis kegiatan, indoor/ambien dan peruntukan wilayah. Sebagai contoh, senyawa asam sianida dalam industri elektroplating ditenggang keberadaannya sampai jumlah tertentu tetapi tidak pada indoor air quality tempat kerja.

2. sifat

sifat suatu zat atau unsur ikut menentukan keberadaan dalam tubuh manusia. Keberadaannya di alam dalam jumlah tertentu mungkin tidak dianggap berbahaya, akan tetapi bila dikaitkan dengan paparan pada mahluk hidup khususnya manusia, maka zat atau unsur tersebut tidak lagi memiliki nilai toleransi. Sebagai contoh :  mercury, methanol (pertimbangan Kow / kecenderungan untuk diabsorbsi oleh tubuh manusia)

3. efek yang timbulkan

beberapa jenis efek yang diberikan oleh zat atau unsur pencemar, yaitu : carcinogenic, chronic, acute systemic, acute iritant. Sebagai contoh hexane (salah satu Hazardous Air Pollutants) memberikan efek kronis dengan nilai ambang 1,1 mg/m3 tetapi dikarenakan zat tersebut tidak menimbulkan kanker dan sifat akut, maka unsur tersebut tidak diatur dalam baku mutu. Begiatu pula dengan senyawa yang bersifat akut, karena memberikan efek dalam jangka waktu yang pendek maka senyawa tersebut tidak diatur dalam baku mutu untuk paparan jangka panjang.

Sumber :
Lawrence B Gratt : Air Toxic Risk Assessment and Management
Environmental Health and Safety, 08 Oktober 2006, http://www.ehs.umass.edu
EPA, Original List of Hazardous Air Pollutant, http://www.epa.gov

Adolf Leopold Sihombing
E-mail: leopoldsihombing@yahoo.com

Prinsip Kebijakan Pengelolaan Kualitas Udara

Beberapa gambaran mengenai kondisi di berbagai aspek di Indonesia saat ini dalam menentukan prinsip kebijakan pengelolaan kualitas udara.

Perundang-undangan

Saat ini, Indonesia telah memiliki beberapa peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan kualitas udara baik yang menyangkut standar baku mutu maupun konsep manajemen lingkungan serta penerapan teknologi. Peraturan yang ada ini sebagaian besar merupakan adopsi standar nilai dari negara maju, walaupun sebagian telah disesuaikan dengan kondisi lokal atau daerah.

Pemahaman / Budaya

Tidak meratanya pendidikan, pembangunan menyebabkan masyarakat Indonesia selalu memiliki persepsi yang berbeda mengenai level apakah suatu udara tersebut tercemar atau belum tercemar. Pandangan ini akan sangat berbeda untuk tingkatan level pendidikan dan lokasi / wilayah tertentu. Hal ini terkadang menjadi kendala apabila ingin melakukan sosialisasi mengenai peraturan maupun kebijakan lingkungan terhadap masyarakat. Untuk itu selain instrumen kebijakan yang ada, upaya yang dapat dilakukan adalah menyesuaikan objek penelitian terhadap nilai sensitivitas pada masyarakat. Continue reading

Nilai Kesetaraan Kalor dari Bahan Bakar Sampah terhadap Batubara sebagai Energi Panas Alternatif

ABSTRACT

Municipal solid waste (MSW) as an alternative energy is potentially produces caloric value. It was composed by organic waste, paper, and plastic which give a high caloric value as a requirement in energy conversion. This study was conducted by using secondary data from many institutions and only done in six big cities at Indonesia (i.e., Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Yogyakarta and Surabaya). To understand the energy value of MSW compare to mining coal, a calculation of the energy conversion into mining coal was done. The total amount of MSW from five big cities in Indonesia is 9,885,717 kg/day. Total of calorie energy from MSW is 35,001,626,638.84 kCal/day or equal to 1.7 Gigawatt. This value is equivalent with 6,272.69 – 7,592.54 tons of sub-bituminous coal which is costed as IDR 3,181,759,275 – 3,851,239,989.

Adolf Leopold Sihombing

Email : leopoldsihombing@yahoo.com